Jumat, 14 Januari 2011

5 hari perjalanan hanya untuk 10 menit presentasi


ivanespe - Tugas kali ini, agak istimewa. Perjalanan 2 kali naik pesawat, tambah darat 2 jam. Jadi ntar bakalan 2 hari pulang pergi. Bukan main jauhnya, atau lebih tepatnya, bukan main capeknya. Dari kantor sudah ada ultimatum : kamu cari masalah yang ada di customer itu, bikin analisis, presentasi di depan bule-nya customer di sana juga. Hebat juga, pikirku, bahkan saat berangkat, mau ngapain pun masih belum jelas.
Tekad, saat itu  mulai dikumpulkan. Persiapan dilakukan. Semua ilmu bakalan dikerahkan. Dan awal dari persiapan itu adalah tanya sana-sini. Dan alangkah patah hatinya, ketika semua yang ditanya juga sama-sama tidak tahunya. Tekad sudah terlanjur membara. Tiket sudah terlanjur di tangan. Rasanya, inilah saatnya keluarkan rumus alamiah paling canggih yang dimiliki manusia, nekat.
Nekat, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan bekal yang dibawa untuk tugas kali ini. Nggak tahu ngapain dan nggak tahu bakal berhadapan sama siapa. Hebat juga, ada perusahaan yang mau bayarin orang nekat kayak gini. Ternyata perusahaan juga nggak kalah nekat. Memang butuh kenekatan untuk menghadapi situasi kayak gini. Tapi, soal nekat-nekatan, negeriku ini memang biangnya. Dan kata itu semakin bermanfaat manakala makin banyak orang yang hidupnya kepepet. Nekat dan kepepet sudah seprti saudara kandung.
Tugas selama 3 hari di lapangan sudah terlewati. Janganlah disangka 3 hari ini sukses begitu saja. Masih pening juga mau presentasi apaan besok ke si bule. Berbagai macam analisa sudah dilakukan. Berbagai pertanyaan atas analisa sudah disiapkan. Dasar, kerjaan bule, penuh dengan SOP yang canggih, sampai-sampai mau nyari celah kesalahan juga susahnya minta ampun! Dan yang bikin sedih, SOP itu sebenarnya udah banyak dipakai (baca : ditiru) perusahaan dalam negeri, tapi hasilnya belum juga sebagus perusahaan si bule itu, bahkan dikantorku.
Meski namanya sering kudengar, baru sekali ini aku ketemu langsung. Dan, satu hal baru aku ingat saat perjalanan menuju ruang presentasi, aku baru tahu si bule nggak bisa bahasa Indonesia. Itu artinya, aku harus pakai bahasa yang dia mengerti, bahasa Inggris. Celakanya, bahasa yang dia ngerti tadi, aku nggak ngerti, dan yang aku ngerti, aku yakin dia nggak ngerti. Yang kutahu cuma cekak aja. Itupun masih membawa Inggris dengan bahasa ibu yang medhok. Potensi misunderstanding sudah tercium. Kemungkinan si bule marah-marah udah jelas. Dan bayangan presentasi ditolak sudah otomatis.
Tibalah saat terakhir paling menentukan. Presentasi. Audiens-nya, 1 orang, ya si bule itu. Bismillah, presentasi dimulai. Dan keyakinan si bule nggak bisa Bahasa Indonesia juga benar. Satu-persatu jurus kata pembuka mulai dikeluarkan. Begitu masuk ke materi presentasi, tanpa dengerin omonganku, cuma lihat halaman presentasi yang berisi gambar dan kata-kata pendek, sibule langsung bilang :  “ OK, I know. What next“. Di klik halaman berikutnya :  “ Yes, I agree“. “ Oh, good.” “Yes, that is our problem.” Dan tahukah, si bule ternyata langsung mengerti begitu aku pakai tanganku untuk memeragakan omonganku yang belepotan. Hanya dengan sedikit menunjuk dan menggerakkan tangan, si bule langsung paham maksudku.
10 menit pas. Jabat tangan, sambil senyum si bule bilang : “thank you very much. Very useful”
3 hari kerja, 2 hari perjalanan pulang pergi, untuk 10 menit yang menentukan. Atau lebih tepatnya 10 menit yang ditentukan. Ditentukan oleh bahasa paling universal, bahasa tubuh. Dan senyumnya tadi, juga bahasa universal yang bisa dibaca, dia senang dengan presentasiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar